Mini-IPO atau securities crowdfunding berpotensi menjadi instrumen penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
Menjadi salah satu skema pendanaan bagi small business (UMKM dan perusahaan start-up), pada dasarnya securities crowdfunding (SCF) menganut konsep penghimpunan dana masyarakat melalui ‘patungan daring’. Di Indonesia, landasan hukum penyelenggaraan SCF adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 57/POJK.04/2020 Tahun 2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layaran Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi sebagaimana diubah dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 16/POJK.04/2021 (POJK No. 57/2020).
Partner di IABF Law Group, Almaida Askandar menjelaskan, sebelum POJK mengenai SCF ini diterbitkan, OJK telah mengeluarkan POJK Nomor 37 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi(Equity Crowdfunding). Namun, untuk mengakomodasi kebutuhan UMKM dan perusahaan start-up dalam memanfaatkan layanan urun dana sebagai salah satu sumber pendanaan, OJK melakukan perluasan instrumen efek yang dapat ditawarkan. Di dalam SCF, instrumen efek yang dapat ditawarkan tidak hanya berbentuk saham (efek bersifat ekuitas), tetapi juga dapat berupa efek bersifat utang atau sukuk.
“Skema SCF terbuka baik untuk usaha yang sedang menghimpun modal untuk keberlangsungan usahanya secara umum maupun untuk tujuan pendanaan suatu proyek spesifik. Misalnya pembangunan fasilitas tertentu, instalasi alat penunjang pekerjaan, bahkan pembuatan film,” kata Almaida.
Mengenal Layanan Urun Dana berupa Efek (Securities Crowdfunding/SCF) sebagai Mini IPO
Masyarakat yang belum familiar dengan SCF dapat membandingkan dengan jenis penghimpunan dana yang sudah lebih dahulu dikenal oleh publik, yakni pendanaan pada pasar modal konvensional (pasar modal). Menurut Associate dari IABF Law Group, Minar Julia Josetta, keduanya merupakan penghimpunan modal masyarakat yang memungkinkan penyertaan berupa saham dan efek bersifat utang atau sukuk. Bagi UMKM dan start-up company, pendanaan lewat SCF layaknya perusahaan-perusahaan yang relatif lebih besar saat melakukan penawaran umum perdana/initial public offering (IPO) melalui pasar modal.
“SCF sendiri memberikan akses kepada permodalan oleh masyarakat umum, sehingga dapat diumpamakan sebagai mini-IPO. Melalui SCF, UMKM dan start-up company dapat lebih cepat, mudah, dan relatif hemat untuk melakukan go public,” ujar Minar.
Di sisi lain, terdapat pula perbedaan-perbedaan dasar antara Mini IPO dan IPO. Dalam IPO melalui pasar modal, pihak-pihak yang terlibat memiliki peran yang kurang lebih sama dengan pihak yang terlibat dalam mini-IPO. Dalam IPO, perusahaan yang menawarkan efeknya kepada masyarakat umum melalui Bursa Efek Indonesia disebut sebagai emiten, sedangkan di dalam mini-IPO disebut penerbit.
Dalam skema mini-IPO ini, penerbit dan efek yang ditawarkan tidak tercatat pada Bursa Efek Indonesia. Penerbit akan menunjuk penyelenggara yang nantinya akan membuat ‘bursa’ bagi efek yang ditawarkannya melalui suatu sistem elektronik. Selain menyediakan bursa melalui sistem elektronik yang disediakan penyelenggara, penyelenggara dalam mini-IPO juga bertindak selayaknya perusahaan efek yang membantu emiten dalam proses IPO.
“Dalam menawarkan efek, penyelenggara akan melakukan analisis terlebih dahulu atas penerbit untuk kemudian menawarkan efek yang dikeluarkan oleh penerbit tersebut kepada investor, yang dalam mini-IPO istilah investor disebut sebagai ‘pemodal’. Untuk menjaga kredibilitasnya, terutama terhadap OJK dan pemodal, penyelenggara harus melakukan kajian yang mendalam atas penerbit sehingga efek dari penerbit yang ditawarkan oleh penyelenggara kepada pemodal memiliki value yang sesuai dengan dokumen penawaran yang disampaikan kepada pemodal,” Almaida menguraikan.
Associate dari IABF Law Group, Alya Shafira Salim mengungkapkan, terdapat perbedaan lain dalam hal profesi penunjang; di mana profesi penunjang pasar modal seperti akuntan publik dan konsultan hukum pada umumnya disyaratkan dalam IPO. Namun, hal ini tidak diwajibkan dalam mini-IPO. “Meski demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggara dapat saja mensyaratkannya agar profesi penunjang ini turut membantu penerbit dalam melakukan mini-IPO,” Alya menambahkan.
Berbeda dengan IPO, pada SCF terdapat batasan-batasan tertentu, misalnya saham yang ditawarkan maksimum Rp10 miliar dalam jangka waktu 12 bulan, dan batasan-batasan lain yang akan dibahas di bagian selanjutnya. Implikasi dari pembatasan nominal dan frekuensi penawaran efek melalui SCF, ialah platform tersebut kurang bisa dijadikan satu-satunya metode pendanaan yang digunakan suatu UMKM atau start-up company.
Selain itu, lanjut Almaida, SCF hanya dilakukan melalui sistem elektronik. Ini berbeda dengan Bursa Efek Indonesia yang masih memungkinkan penawaran dan jual beli secara luring.
Karakteristik Layanan Urun Dana
Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai Layanan Urun Dana secara spesifik, antara lain:
1. Pihak-Pihak yang Terlibat
Terdapat tiga pihak yang terlibat dalam skema Layanan Urun Dana, yaitu: penyelenggara, penerbit, dan pemodal.
a. Penyelenggara
Dalam Pasal 1 Angka 5 POJK No. 57/2020, dijelaskan bahwa penyelenggara adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola dan mengoperasikan Layanan Urun Dana. Adapun syarat-syarat umum bagi penyelenggara sebagaimana diatur dalam POJK No. 57/2020, antara lain:
- Penyelenggara wajib memiliki izin usaha dari OJK (Pasal 5);
- Penyelenggara yang telah memperoleh izin usaha dari OJK wajib terdaftar sebagai penyelenggara sistem elektronik pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Pasal 15A ayat (1);
- Penyelenggara merupakan badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi jasa (Pasal 8 jo. Pasal 10);
- Penyelenggara berbentuk perseroan terbatas dapat didirikan dan dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; dan/atau
b. warga negara asing dan/atau badan hukum asing, yaitu baik secara langsung maupun tidak langsung paling banyak 49% (empat puluh sembilan persen) (Pasal 9);
- Bagi Penyelenggara berbentuk perseroan terbatas, modal disetor paling sedikit Rp2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta Rupiah) pada saat mengajukan permohonan perizinan dan bagi Penyelenggara berbentuk koperasi jasa, modal sendiri paling sedikit Rp2.500.000.000,- (dua miliar lima ratus juta Rupiah) pada saat mengajukan permohonan perizinan (Pasal 11);
- Penyelenggara wajib memiliki:
a. sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan/atau latar belakang di bidang Teknologi Informasi; dan
b. sumber daya manusia yang memiliki keahlian untuk melakukan penelaahan terhadap Penerbit (Pasal 12).
b. Penerbit
Berdasarkan Pasal 1 angka 7 POJK No. 57/2020, penerbit adalah badan usaha Indonesia baik yang berbentuk badan hukum maupun badan usaha lainnya yang menerbitkan efek melalui Layanan Urun Dana. Syarat bagi penerbit dalam Pasal 46 POJK No. 57/2020, yaitu Penerbit dilarang merupakan:
- Badan usaha yang dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh suatu kelompok usaha atau konglomerasi (berdasarkan Penjelasan POJK No. 57/2020 yang dimaksud dengan “konglomerasi” adalah perusahaan yang berada dalam satu grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian);
- perusahaan terbuka atau anak perusahaan terbuka; dan*)
- badan usaha dengan kekayaan bersih lebih dari Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar Rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Catatan:
*) IABF masih menunggu konfirmasi dari OJK apakah kata sambung ini hanya ‘dan’ bukan ‘dan/atau’.
c. Pemodal
Berdasarkan Pasal 1 angka 8 POJK No. 57/2020, pemodal adalah pihak yang melakukan pembelian efek penerbit melalui Layanan Urun Dana. Syarat-syarat pemodal yang membeli efek melalui Layanan Urun Dana sebagaimana terdapat dalam Pasal 56 ayat (1) POJK No. 57/2020, di antaranya:
- memiliki rekening Efek pada Bank Kustodian yang khusus untuk menyimpan Efek dan/atau dana. Apabila Pemodal melakukan pembelian Efek melalui lebih dari 1 (satu) Penyelenggara, Pemodal wajib menggunakan rekening Efek yang berbeda untuk masing-masing Penyelenggara (Pasal 56 ayat (2);
- memiliki kemampuan untuk membeli Efek Penerbit; dan
- memenuhi kriteria Pemodal dan batasan pembelian Efek.
Kriteria pemodal dan batasan pembelian efek meliputi (Pasal 56 ayat (3)):
- setiap Pemodal dengan penghasilan sampai dengan Rp500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah) per tahun, dapat membeli Efek melalui Layanan Urun Dana paling banyak sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan per tahun; dan
- setiap Pemodal dengan penghasilan lebih dari Rp500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah) per tahun, dapat membeli Efek melalui Layanan Urun Dana paling banyak sebesar 10% (sepuluh persen) dari penghasilan per tahun.
Ketentuan kriteria pemodal dan batasan pembelian efek ini tidak termasuk dalam hal pemodal merupakan (Pasal 56 ayat (4):
- badan hukum; dan
- pihak yang mempunyai pengalaman berinvestasi di pasar modal yang dibuktikan dengan kepemilikan rekening Efek paling sedikit 2 (dua) tahun sebelum penawaran Efek.
Di antara ketiga pihak di atas, POJK No. 57/2020 mensyaratkan adanya beberapa perjanjian, yaitu:
- perjanjian antara Penyelenggara dan Penerbit,
- perjanjian antara Penyelenggara dan Pemodal, serta
- perjanjian penerbitan efek bersifat utang atau Sukuk antara Penyelenggara dan Penerbit, dimana Penyelenggara selaku kuasa Pemodal (apabila Efek yang ditawarkan bersifat utang atau Sukuk) (Pasal 61).
2. Jenis Efek yang Dapat Diperdagangkan
Melalui Layanan Urun Dana, penerbit dapat menawarkan jenis-jenis efek sebagai berikut (Pasal 28 ayat (1) POJK No. 57/2020):
- Efek bersifat ekuitas, seperti saham atau ekuitas lain yang wajib dikonversikan menjadi saham;
- Efek bersifat utang, misalnya obligasi dan surat pengakuan utang; dan
- Sukuk
Khusus untuk efek bersifat utang atau sukuk, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut (Pasal 30 ayat (1) POJK No. 57/2020):
- diterbitkan dalam mata uang Rupiah;
- memiliki proyek yang menjadi dasar penerbitan Efek bersifat utang atau Sukuk;
- tidak dapat diperdagangkan;
- memiliki jatuh tempo tidak lebih dari 2 (dua) tahun;
- dapat dilunasi lebih awal sebelum jatuh tempo, sepanjang mendapat persetujuan dari mayoritas pemegang Efek bersifat utang atau Sukuk yang hadir dalam rapat umum pemegang Efek bersifat utang atau Sukuk;
- pembayaran pokok, bunga, besaran nisbah bagi hasil, margin, imbal jasa, atau imbal hasil dapat dilakukan secara berkala atau pada saat jatuh tempo; dan
- penerbitan Sukuk wajib memperoleh pernyataan kesesuaian syariah (Pasal 30 ayat (2) POJK No. 57/2020).
3. Batasan Penawaran Efek dan Penghimpunan Dana
Dalam Layanan Urun Dana, terdapat beberapa batasan dalam penawaran efek dan penghimpunan dana, yaitu:
- Penerbit Efek bersifat ekuitas dilarang menggunakan jasa Layanan Urun Dana melalui lebih dari 1 (satu) Penyelenggara (Pasal 31 POJK No. 57/2020);
- Batas penghimpunan dana melalui Layanan Urun Dana oleh setiap Penerbit dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan paling banyak Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar Rupiah) atau nilai lain yang ditetapkan oleh OJK (Pasal 33 ayat (1) POJK No. 57/2020);
- Penghimpunan dana dapat dilakukan dalam 1 (satu) kali penawaran atau lebih (Pasal 33 ayat (2) POJK No. 57/2020); dan
- Masa penawaran dalam penghimpunan dana paling lama 45 (empat puluh lima) hari (Pasal 35 POJK No. 57/2020).
Selain itu, diatur juga mengenai pelaksanaan perdagangan efek, di mana penyelenggara menyediakan sistem bagi pemodal untuk memperdagangkan efek penerbit yang telah dijual dengan beberapa ketentuan, antara lain:
- hanya berlaku bagi Efek bersifat ekuitas berupa saham yang telah didistribusikan paling singkat 1 (satu) tahun sebelum perdagangan Efek;
- hanya dapat dilakukan antar sesama Pemodal yang terdaftar pada Penyelenggara;
- dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan hanya dapat dilakukan 2 (dua) kali;
- jangka waktu pelaksanaan perdagangan Efek dengan perdagangan Efek lainnya paling singkat 6 (enam) bulan; dan
- dilarang dilaksanakan dalam jangka waktu lebih dari 10 (sepuluh) hari kerja (Pasal 43 POJK No. 57/2020).
Walaupun landasan hukum dan pelaksanaannya masih cukup baru di Indonesia, mini-IPO atau securities crowdfunding menjadi opsi pendanaan yang menarik untuk dipertimbangkan UMKM dan start-up company. Pada saat penyusunan artikel ini, sudah cukup banyak penyelenggara securities crowdfunding yang telah mengantongi izin OJK. Beberapa di antaranya merupakan penyelenggara yang berbasis syariah. Mengingat begitu besarnya jumlah UMKM di Indonesia dan semakin banyaknya masyarakat yang mendirikan start-up company, mini-IPO atau securities crowdfunding berpotensi menjadi instrumen penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
__________________________
Published by: Almaida Askandar, Minar Julia Josetta dan Alya Shafira Salim
Published on: 25 Jul 2023